Legenda Majalaya

LEGENDA MAJALAYA
Dari Aomvanriest

Legenda “Majalaya “
“Dewi Selasih”
Alkisah dahulu kala setelah Situ Sipatahunan mengering, di Sebelah Barat situ berdiri sebuah Kerajaan “Megamendung” dengan Rajanya Sang Purwakarta bergelar Raja Mandala. Sang Raja mempunyai pramerswari bernama Sang Dewi “Nyimas Plered”. Sang Raja dikaruniai 8 orang putra laki-laki. Nama para putra Raja tersebut dinamai dengan sebutan Mandala. Putra sulung bernama Mandalawangi, kedua Mandalagiri, ketiga Mandalacipta, keempat Mandalarsa, kelima Mandalajati, keenam Mandalabraja, ketujuh Mandalaseta, kedelapan Mandaladenta, dan kesembilan Mandalaraga.
Sekalipun kerajaan itu terkenal subur makmur gemah ripah lohjinawi, namun Sang Maha Raja tetap saja murung. Pasalnya, beliau menginginkan lahirnya seorang putri sebagai momongan. Kemudian, Sang raja dianjurkan oleh para pendeta untuk bertapa di “Puncak” Gunung di atas kawah “Air Panas”. Maka, berangkatlah sang raja bertapa untuk mendapatkan petunjuk Hyang Widi. Akhirnya, permohonan dalam tapanya itu dikabulkan, saat Sang Raja pulang , Sang Dewi “Nyimas Plered” hamil dan melahirkan seorang putri yang cantik jelita.
Putri tersebut diberi nama Dewi Mandalasari. Konon betapa sayangnya Sang raja terhadap putrinya tersebut. Sampai-sampai Beliau melupakan putra-putranya yang lain. Bahkan, urusan pemerintahan dan kepentingan rakyatnya pun diabaikannya. Setiap harinya, Sang Raja hanya bermain dan menimang-nimang putrinya di Kaputren.
Keadaan itu, membuat Sang Dewa murka. Seorang raja tak sepantasnya berlaku demikian. Pemimpin tidak boleh mementingkan kesenangan pribadinya tanpa memperhatikan kepentingan rakyat dan negaranya. Maka, Sang Dewa menurunkan penyakit kulit yang tiada obatnya. Penyakit kulit itu, mewabah pada hampir seluruh rakyat Megamendung. Selain itu, seluruh wilayah kerajaan mengalami kekurangan air karena kemarau panjang.
Kenyataan demikian, membuat Sang Raja tersadar dari kekhilafannya. Ketika beliau menerima laporan dari para petinggi kerajaan, tampak begitu sedih dan menyesali. Ia tak tahu harus berbuat apa untuk rakyatnya. Sang Raja mengutuk dirinya sendiri atas apa yang telah diperbuatnya. Begitu pula pada putra-putranya, Ia minta maaf karena selama ini telah mengabaikannya.
Kemudian Sang Raja mengadakan “Simewaka” semacam sidang para petinggi dan abdi dalem kerajaan. Beliau meminta saran dan pendapat dari para pembantunya dalam mengatasi keadaan “Tigerat” yang melanda negerinya. Salah seorang pendeta “Mpu Sadang “ menyarankan agar Sang Raja bersemedi di hulu sungai, tempat “cai raat” untuk meminta petunjuk Hyang Widi. Menurut Para Pendeta itu, hanya Sang Rajalah yang akan diterima permohonannya oleh Dewa. Maka, akhirnya usul tersebut disetujui oleh Sang Raja, dengan perasaan berat pada putri kesayangannya, Beliau pun pergi untuk bertapa.
Berbulan-bulan Raja Mandala bertapa, belum juga Ia mendapat wangsit Dewa. Sementara itu, rakyat Kerajaan Megamendung semakin dicekam kelaparan dan penyakit. Hujan pun tak kujung datang. Pohon-pohon mulai layu, rumput pun menjadi kering, hamparan kerajaan Megamendung tampak kusam berdebu. Nyimas Plered mengajak para wanita untuk membuat “kendi.” atau “ Gentong : untuk sekedar menampung embun agar bisa mendapatkan setetes air
Hinggga pada suatu malam purnama, tiba-tiba terdengar petir menyambar, dan bumi bergunjang. Seluruh rakyat Megamendung ber-”rame-rame” berteriak “Cai-cai”. Namun sampai pagi pun tiba hujan tak kunjung turun. Ternyata, pada malam itu, Sang raja mendapat wangsit dari Dewa. Wangsit itu menyebutkan bahwa, jiga negerinya ingin kembali subur makmur dan terhidar dari wabah penyakit, maka Sang raja harus membuang putri bungsunya ke hulu Sungai Citarum di hutan sebelah selatan Situ Sipatahunan.
Sesaat Sang Raja tercenung dengan menerima wangsit tersebut. Ia dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Jika ia memilih kebahagiaan dirinya, maka rakyat dan negara akan binasa. Bila ia memilih rakyat dan negaranya, maka ia harus menderita dengan kehilangan putri kesangan satu-satunya. Lama Sang Raja berpikir tentang hal itu. Namun sebagai seorang raja, ia harus rela berkorban demi negaranya.
Lalu beliau bergegas pulang ke Kerajaan, dan mengabarkan hal itu kepada istrinya. Betapa terkejut Sang Dewi Nyimas Plered mendengar hal itu. Ia menangis sejadi-jadinya. Karena Ibu mana yang akan rela kehilangan putri satu-satunya. Konon menurut cerita, air mata Nyimas Plered ini memenuhi kendi yang sedang dibuatnya sampai-sampai “Cai rata” dengan bibir kendi tersebut. Namun ia tiada kuasa menolak perintah wangsit dewa, sekalipun hatinya hancur harus kehilangan belahan jiwanya.
Maka berangkatlah Sang Raja membawa putrinya ke Hulu Sungai Citarum di hutan sebelah selatan danau Situ-Sipatahunan, walaupun sudah “pada melarang” oleh para pembantunya. Namun Sang Raja tetap kukuh pada pendiriannya. Kata Sang Raja, “Aku rela melakukan ini demi rakyatku, yang penting cai mahi untuk senegara”. Kepergian Sang Raja diam-diam diikuti oleh ketiga putranya yaitu : Mandalawangi, Mandalagiri, dan Mandalacipta. Mereka bertekad untuk menjaga adiknya yang dibuang sambil mencari kedigjayaan.
Ketika sampai di suatu bukit, Sang Raja berdiri di atas batu untuk “Sindang” istirahat sejenak. Di atas batu itu, pikiran Sang Raja melayang-layang pada masa lalu “nyoreang katukang” saat ia begitu bahagianya menimang-nimang putri kesayangannya ini. Namun sekarang, belahan jiwanya ini harus dibuang ke hutan. Walaupun demikian, ia pun berkeyakinan bahwa dewa akan menjaga putrinya ini. Konon tempat istirahat Sang Raja itu di sebut Sindang Kerta, Batu Layang, dan Soreang.
Saat Sang Raja beristirahat dan melihat ke belakang, ia kaget melihat tiga pemuda yang diam-diam mengikutinya. Lalu dipanggilnya ke tiga pemuda itu yang ternyata putra-putranya. Betapa marah Sang Raja dan menyuruh ke tiga anaknya itu berdiri di atas “batu berjajar” ke tiganya. Sang Raja bersabda, “kalian jangan meragukan kekuasaan Hyang Widi atas semua ini, pasti kelak dikemudian akan menjadi banjaran bagja bagi kita semua”. Betapa malu dan takutnya ke tiga putra mahkota tersebut. Maka mereka pun berpamitan pada ayahandanya untuk pergi berkelana.
Sesampainya di Hulu Sungai Citarum, Sang Raja meletakkan bayinya itu di sela-sela akar pohon yang bercabang. Beliau berdoa dan memohon kepada Hyang Widi, “Ong santi-santi, semoga dewata mengabulkan pengorbananku ini”. Berlinanglah air mata Sang Raja ketika melihat bayinya tersenyum saat diletakkan di bawah pohon itu. Pergilah Sang Raja meninggalkan putrinya itu dengan rasa berat hati. Konon ceritanya daerah Hulu Sungai Citarum dikenal dengan nama Cisanti.
Sahdan segerombolan penyemun (badog) yang begitu kejam di bawah pimpinan Ki Dasta, sampailah ditempat itu. Ketika mereka mau istirahat di bawah pohon yang rindang, tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi yang diiringi suara gamelan. Tiba-tiba dalam pikiran Ki Dasta terbayang-bayang hidup tenang di rumah dengan rengekan bayi. Dan saat suara tangis bayi itu semakin keras Ki Dasta memerintahkan anak buahnya mencari asal suara itu. Ternyata suara itu berasal dari bawah pohon yang bercabang.
Aneh juga, keajaiban terjadi. Ki Dasta yang begitu kejam tanpa belas kasihan, hatinya menjadi lemah dan terenyuh melihat bayi perempuan itu. Timbullah kasih sayang dalam hatinya untuk merawat dan membesarkan bayi itu. Kata Ki Dasta, “Karena aku temukan bayi ini di sela-sela pohon tarum dan tiba-tiba aku mengasihinya, maka bayi ini akan ku rawat dan ku jadikan Raja dengan nama Sela Asih”. Semua anak buah Ki Dasta merasa kaget bercampur bahagia. Akhirnya mereka akan menetap di satu tempat, tidak berpetualang lagi.
Sampai di tepi rawa di sisi Situ Sipatahunan, Ki Dasta memerintahkan anak buahnya membangun padepokan. Maka berdirilah bangunan kokoh yang terbuat dari bambu atau “galah” sebagai tempat berlatih kedigjayaan. Tempat itu dinamai “Kedathon Saung Galah”. Di tempat itu pula Sang Dewi Mandalasari atau Dewi Sela Asih dididik dan dibesarkan menjadi seorang putri yang Sakti Mandraguna. Dan setelah dewasa, Dewi Sela Asih dinobatkan menjadi Ratu Saung Galah dengan gelar Raja Dasta. Konon tempat-tempat itu sekarang dikenal dengan nama Kadatuan, Cisunggalah, dan Raja Desa.
Kerajaan Saung Galah yang berada di tengah-tengah pesisir Situ Sipatahunan, kemudian dikenal sebagai wilayah Madyalaya. Daerah yang subur banyak mengandung emas, dan berbagai macam sumber makanan bagi penduduknya. Kerajaan Saung Galah begitu kaya, sehingga setiap gerbang masuk wilayah kerajaan dibangun dengan emas. Gerbang tersebut dinamai Dorawati yang artinya pintu gerbang kerajaan perempuan. Konon sampai sekarang dikenal tempat-tempat atau nama desa Darawati.
Pada suatu ketika, Ki Dasta Sang Maha Patih mengumumkan suatu sayembara untuk calon suami pendamping Dewi Sela Asih. Siapa saja yang mampu menundukan Dewi Sela Asih, ia akan dijadikan suami Sang Dewi dan sekaligus menjadi Raja di Madyalaya. Tentu saja sayembara atau perang tanding itu diminati oleh para kesatria dari berbagai negara. Berlangsunglah adu tanding melawan Dewi Sela Asih. Namun tak seorang pun yang mampu memenangkannya.
Tersebutlah seorang pengembara bernama Mandalawangi yang datang ke tempat itu. Ia mendengar kabar bahwa kerajaan Madyalaya sedang mengadakan sayembara untuk calon suami Ratu Sela Asih. Atas dukungan Mandalagiri dan Mandalacipta, Raden Mandalawangi turut serta dalam sayembara itu. Setelah pertarungan tujuh hari tujuh malam, akhirnya karena tersentuh ujung payudara Sang Dewi, maka ia pun menyatakan kalah dari Raden Mandalawangi. Dan akhirnya Raden Mandalawangi dinyatakan sebagai pemenangnya.
Pesta perkawinan dilaksanakan begitu meriah selama tujuh hari tujuh malam. Pada saat malam pengantin tiba-tiba terjadi gempa yang dahsyat disertai hujan badai dan halilintar. Rupanya Hyang Widi tidak merestui pernikahan mereka yang ternyata kakak beradik seibu sebapak. Bumi pun menjadi gelap dan halilintar bersahutan. Kedua mempelai itu terpental bersama tempat tidurnya “kasur” ke arah timur. Keesokan harinya berdiri kokoh tiga gunung yang berjajar yaitu gunung Selasih, gunung Kasur, dan gunung Mandalawangi.
Demikian cerita rakyat ini, konon gunung Selasih itu adalah jelmaan Dewi Selasih sehingga selalu rimbun ditutupi pohon. Sahdan, katanya kalau kemarau panjang, dan melakukan pembersihan rumput di gunung Selasih, maka akan turun hujan. Katanya hal ini karena Sang Dewi merasa malu. Kemudian Guagarba Sang Dewi, konon diidentikan dengan Gua Karang Gantungan. Dan gunung Mandalawangi sebelah timur gunung Salasih berdiri kokoh melindunginya.
Reka carita : Aom Vanriest, 2008.

Manajemen Pendidikan Islam

MANAJEMEN KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM
(MINI RISET DI PONDOK PENSANTREN TAHFIDZ AZZAKIYATUS SHOLIHAH TALAGA MAJALENGKA)

Untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah :
Manajemen Pendidikan Islam

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Muhibbin Syah, M.Ed

Oleh :
Yasir Amrullah
3170210021

PROGRAM PASCA SARJANA
PENDIDIKAN ISLAM S3
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
1439 H / 2017 M
MANAJEMEN KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM
(MINI RISET DI PONDOK PESANTREN TAHFIDZ AZZAKIYATUS SHOLIHAH TALAGA MAJALENGKA)

BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dikembangkan dari dan disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam (Muhaimin, 2015, p. 4). Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dan merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren bisa disebut pondok saja, atau kedua kata ini digabung menjadi pondok pesantren. Secara essensial, semua istilah ini mengandung makna yang sama, kecuali sedikit perbedaan. Asrama yang menjadi penginapan santri sehari-hari, dapat dipandang sebagai pembeda antara pondok dan pesantren. Sebelum Tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan Islam di Indenesia lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau bisa jadi berasal dari kata bahasa Arab, funduk, yang mempunyai arti hotel atau asarama. (Dhofier, 2015, p. 41)
Sebagai institusi pendidikan Islam yang dinilai paling tua, pesantren memiliki akar transmisi sejarah yang jelas. Menurut sejarahnya, Maulana Malik Ibrahim, yang dikenal dengan Syaikh Maghribi, dari Gujarat, India, sebagai pendiri pondok pesantren pertama di Jawa. (Qomar, 2006, p. 8).
Secara garis besar pondok pesantren dibagi menjadi dua, yaitu: salafi dan khalafi. Pesantren Salafi adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik (kitab kuning) sebagai inti pendidikan pesantren tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Sedangkan pondok khalafi adalah pesantren yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah yang dikembangkan secara klasikal. (Kholidin, 2016) juga (Hasan, 2015, p. 302)
Pondok Pesantren Tahfidz Azzakiyatus Sholihah adalah salah satu pondok pesantren yang berada di Campaga Talaga Majalengka Jawa Barat. Meskipun termasuk podok pesantren yang terbilang baru berdiri, tapi pesantren ini merupakan pesantren yang cukup terpandang dan disegani di Kabupaten Majalengka. Hal ini terjadi karena pondok pesantren sudah menerapkan pola-pola kepemimpinan dan manajemen yang baik dalam pengelolaannya.
Oleh karena itulah penulis tertarik untuk membuat mini riset ini, bagaimanakah manajemen pesantren di sini sehingga dalam waktu yang relatif baru pondok pesantren ini menjadi salah satu tujuan orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya di Pondok Pesantren Azaakiyatus Sholihah Talaga Majalengka.

BAB II
MANAJEMEN KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM DI PONDOK PESANTREN TAHFIDZ AZZAKIYATUS SHOLIHAH

a. Sejarah Pondok Pesantren Tahfidz Azzakiyatus Sholihah
Pondok Pesantren Tahfidz Azzakiyatus Sholihah, adalah pesantren yang didirikan tahun 2001 di Kampung Cilengsar, Desa Campaga Kec. Talaga Kabupaten Majalengka, oleh KH. Drs. Zainal Arifin Tajudin, beliau adalah anak kedua dari (Alm) H. Tajudin, yang merupakan tokoh agama di sana. Semasa masih hidup, H Tajudin mempunyai “kobong” yang ia pakai untuk memberikan pendidikan agama kepada santri kalong di kampung tersebut. Santri kalong, adalah sebutan untuk santri yang tidak bermukim di pesantren dan sebutan untuk orang yang berada di sekitar pesantren yang ingin menumpang belajar di pesantren pada waktu-waktu tertentu. (Mbeling, 2010) Sebelum KH. Tajudin meninggal, sekitar tahun 1970, beliau sering mengutarakan keinginan untuk mendirikan sebuah pondok pesantren, sehingga tempat menimba ilmu di sana bukan hanya berupa kobong saja, akan tapi pondok pesantren yang banyak menampung santri untuk menimba ilmu agama di sana.
Keinginan H. Tajudin ini baru terealisasi tahun 2001 ketika Drs. KH. Zainal Arifin mengutarakan niatkan kepada keluarga besar dan kakak satu-satunya yang bernama Hj. Siti Sholihah, untuk membangun pondok di bekas kobong dan kolam empang yang berdekatan dengan bekas kobong tersebut. Akhirnya dengan niat untuk mensyiarkan ajaran agama Islam, didirikanlah sebuah bangunan berlantai dua yang sekarang menjadi asrama putra, serta kantor di lantai 1 dan tempat belajar di lantai 2. Untuk menampung santri putri dibangun pula lantai 2 rumah kediaman KH. Zainal Arifin.
Setelah beberapa tahun berjalan, sekarang kepemimpinan pesantren diserahkan kepada putera beliau yang bernama H. Ahmad Zacky Burhani, S.Pd.I, M.Pd.I, alumnus pondok Pesantren Al-Qur’an Al-Falah Cicalengka Bandung.
Selain mengajarkan tahfidz dan seni baca Al-Qur’an, Pondok Pesantren Tahfidz Azzakiyatus Sholihah juga membuka lembaga Diniyah Taklimiyah Awaliyah, Madrasah Ibtidaiyah, serta untuk tahun ajaran 2018/2019 akan mendirikan Madrasah Tsanawiyah / SMP Islam. Hingga sekarang, pesantren ini juga selalu dijadikan sebagai Training Center (TC) bagi kafilah MTQ Kecamatan Talaga yang akan berlomba di tingkat kabupaten, ataupun TC bagi kafilah Kabupaten Majalengka yang akan berlomba di MTQ tingkat Provinsi Jawa Barat. Dan rencana masa depan, akan membangun kampus 2, sehingga nanti selain pondok pesantren, juga nantinya akan dibangun sekolah umum di satu komplek secara terpadu.
b. Pola Kepemimpinan Pondok Pesantren Tahfidz Azzakiyatus Sholihah
Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain (para bawahannya) sedemikian rupa sehingga orang lain itu mau melakukan kehendak pemimpin meskipun secara pribadi hal itu mungkin tidak disenanginya. (Siagian, 2002, p. 62)
Kepemimpinan sangat diperlukan bagi suatu organisasi dalam menentukan kemajuan dan kemunduran organisasi, serta tidak ada organisasi yang dapat maju tanpa kepemimpinan yang baik. Terdapat teori atribusi dalam kepemimpinan. Teori atribusi dikembangkan oleh Kelley (1967), kemudian Green serta Mitchell (1979). Mereka berpandangan bahwa perilaku kepemimpinan disebabkan oleh atribut penyebab. Jadi teori kepemimpinan atribut menjelaskan mengapa perilaku kepemimpinan terjadi. Teori atribusi dikembangkan dengan beberapa pendapat berikut:
Teori Kepemimpinan Karismatik
Teori atribusi ikut menjelaskan kepemimpinan karismatik. Para pengikut membuat atribut pada pemimpin yang heroik atau yang memiliki kemampuan yang luar biasa yang mereka amati dan dapati.
Teori Kepemimpinan Transaksional
Para pemimpin transaksional, adalah pemimpin yang membimbing atau mendorong bawahan mereka mengarah pada tujuan yang telah diletakkan, dengan cara menjelaskan peranan dan tugas yang dipersyaratkan.
Teori Kepemimpinan Transformasional
Terdapat juga para pemimpin yang transformasional. Teori ini melihat pemimpin yang menyediakan pertimbangan individual dan stimulasi intelektual serta mereka yang memiliki karisma. (Woworuntu, 2003, p. 73)
Pondok Pesantren Azzakiyatus Sholihah dalam hal ini, bila dilihat secara kasat mata telah menerapkan teori kepemimpinan kharismatik dan teori kepemimpinan transformasional. Hal ini bisa dilihat dari penyerahan kepemimpinan pesantren, dari KH. Drs. Zainal Arifin, kepada puteranya H. Ahmad Zacky Burhani, M.Pd.I, meskipun masih terlihat masih muda, akan tetapi tanggung jawab berat kepemimpinan pesantren telah dipikul oleh seorang anak muda. Memang meskipun anak muda, H. Ahmad Zaky Burhani, M.Pd.I telah dikenal dikalangan para hafidz di Jawa Barat dan di Nasional.
Banyak prestasi yang telah ditorehkan oleh H. Ahmad Zacky Burhani, antara lain : Juara Pertama Tahfizd 1 Juz Kategori Anak-anak pada MTQ Nasional di Palu Tahun 1994. Juara Pertama Lomba Adzan Tingkat Nasional pada Festival Istiqlal tahun 1995. Juara Pertama Tilawah Al-Qur’an Kategori Dewasa tingkat Provinsi Jawa Barat tahun 2015, dan masih banyak lagi prestasi yang telah ditorehkan beliau.
Kepemimpinan transformasional di Pondok Pesantren Tahfidz Azzakiyatus Sholihah bisa dilihat dari stimulasi intelektualnya, hal ini bisa dilihat dari diserahkannya kepemimpinan pesantren kepada seseorang yang telah berpendidikan Magister Pendidikan Islam, karena bila dilihat di beberapa pesantren di Majalengka, baru Pondok Pesantren Tahfidz Azzakiyatus Sholihah, pemimpin pesantrennya yang telah mendapatkan pendidikan pesantren luhur (S2). Pondok Pesantren Tahfidz Azzakiyatus Sholihah ini telah berubah dari kepemimpinan biasa menjadi tansformasional. Dan diharapkan suatu ketika nanti, semua pesantren, kepemimpinannya akan dipegang oleh seseorang yang telah mendapatkan pendidikan selain pendidikan pesantren, juga pendidikan umum, sehingga kepemimpinannya dipegang oleh seorang yang bisa disebut dengan Ulil Albab.
Ulil Albab, menurut A.M. Saifuddin, adalah pemikir, intelektual yang memiliki ketajaman analisis terhadap gejala dan proses alamiah dengan metode ilmiah induktif dan deduktif, serta intelektual yang membangun kepribadiannya dengan zikir dalam keadaan dan situasi apapun, sehingga mampu memanfaatkan gejala, proses dan sarana alamiah untuk kemaslahatan dan kebahagiaan ummat manusia. Ulil Albab juga adalah intelektual muslim yang tangguh yang tidak hanya memiliki ketajaman analisis objektif, tapi juga analisis subjektif. (Saifuddin, 2004) Dengan Ulil Albab juga diharapkan dapat terpadu antara antara ayat kauliyah sesuai dengan core pesantren ini yaitu pendidikan tahfidz Al-Qur’an, dengan ayat kauniyah (Editor, 2006) yang diajarkan di pesantren ini.
c. Pola Manajemen Pondok Pesantren Tahfidz Azzakiyatus Sholihah
Manajemen pada dasarnya merupakan suatu proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran atau tujuan tertentu. Istilah manajemen biasa dikenal dalam ilmu ekonomi, yang memfokuskan pada profit (keuntungan) dan komoditas komersial. Seorang manajer adalah orang yang menggunakan wewenang dan kebijaksanaan organisasi / perusahaan untuk menggerakan staf atau bawahannya mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Karena itu, seorang menajer biasanya bertugas untuk mengelola sumber daya fisik, berupa capital (modal), human skills (keterampilan-keterampilan manusia), row material (bahan mentah) dan tecnology, agar dapat melahirkan produktivitas, efisiensi, tepat waktu (sesuai dengan rencana kerja) dan kualitas. (Muhaimin, 2015)
Berbeda halnya dengan seorang pemimpin, yang lebih memfokuskan pada visi. Ia berusaha mengajak dan memotivasi staf dan bawahan untuk bersama-sama mencapai tujuan yang ditetapkan. Karena itu, seorang pemimpin leader (biasanya berusaha mengelola sumber-sumber emosional dan spiritual yang berupa values (nilai-nilai), commitment (keberpihakan) dan aspiration (aspirasi staf dan bawahan, agar melahirkan kebanggaan dan kepuasan dalam bekerja. (Muhaimin, 2015, p. 5)
Menurut teori manajemen, bahwa menajer yang sukses adalah manajer yang memiliki unsur kepemimpinan (leadership) dan mampu menerapkan serta mengembangkannya. Dengan kata lain, manajer yang mampu bertindak sebagai pemimpin (manager as a leader) (Muhaimin, 2015, p. 5)
Manajemen pendidikan adalah manajemen yang diterapkan dalam pengembangan pendidikan. Dalam arti, ia merupakan seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan Islam untuk mencapai tujuan pendidikan Islam secara effektif dan efisien. Bisa juga didefinisikan sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian sumber daya pendidikan Islam untuk mencapai tujuan pendidikan Islam secara effektif dan efisien. (Muhaimin, 2015). Bila digambarkan maka pola manajemen organisasi akan tergambar sebagai berikut : (Syair, 2009)

Manajemen pendidikan di pesantren Azzakiyatus Sholihah telah menggunakan menajemen modern, yaitu manajemen yang sesuai dengan situasi dan kondisi masa kini. Sebelum menerapkan sesuatu di pesantren ini, maka tahapan-tahapan dalam manajemen modern selalu dilalui dengan baik, mulai proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian, serta evaluasi yang baik. Hal ini seperti ketika akan mendirikan DTA ataupun sekolah formal lainnya, telah melewati tahapan manajemen tersebut. Hingga dari sini akan terlihat keberhasilan dan ketidakberhasilan dalam mengelola satu lembaga besar seperti Pondok Pesantren Azzakiyatus Sholihah. Dan hal tersebut tidak akan dilakukan bila manajemen atau pemimpin pesantren tidak menguasai tentang manajemen modern.
BAB III
SIMPULAN

Pesantren maju adalah pesantren yang dipimpin oleh pemimpin yang mampu memenej (mengendalikan) komponen yang berada di bawahnya, dan kepemimpinan seperti itu hanya ada di lingkungan pesantren yang dipimpin oleh pemimpin yang betul-betul memahami manajemen pendidikan modern seperti yang diajarkan oleh para ahli bidang manajemen.

Bibliography

Dhofier, Z. (2015). Tradisi Pesantren : Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Editor, T. (2006). Pandangan Keilmuan UIN : Wahyu Memandu Ilmu. Bandung: Gunung Djati Press.
Hasan, M. (2015). Inovasi dan Modernisasi Pendidikan Pondok Pesantren. Karsa : Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman, 302.
Kholidin. (2016). Kkasifikasi Pondok Pesantren. Retrieved 12 25, 2017, from Kholidin – Sharing: http://www.kholidintok.net/2016/01/klasifikasi-pondok-pesantren.html
Mbeling, S. B. (2010, 08 10). Arti dan Makna Santri . Retrieved 12 25, 2017, from Santri Bantat : Catatab Santri Mbeling: http://santri-bantat.blogspot.co.id/2010/08/arti-dan-makna-santri.html
Muhaimin. (2015). Manajemen Pendidikan : Aplikasi Dalam Penyusunan Rencana Pengembangan sekolah / Madrasah. Jakarta: Prenadamedia Grup.
Qomar, M. (2006). Pesantren : Dari Tansformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Saifuddin, A. (2004). Deskulerisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. In T. P. Buku, Memandu Sain Dan Agama (p. xxi). Malang: UIN Maliki Malang.
Siagian, S. P. (2002). Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta: Rineka Cipta.
Syair, A. (2009, 04 20). Manajemen, Administrasi dan Organisasi. Retrieved 12 27, 2017, from Manajemen, Administrasi dan Organisasi: https://syair79.wordpress.com/2009/04/20/312/
Woworuntu, B. (2003). Determinan Kepemimpinan. Makara : Sosial Humaniora, 73.

Selamat Menepuh Ujian Nasional

Beberapa hari kedepan, siswa kelas XII SMA / MA akan melaksanakan Ujian Nasional. Sedangkan Kelas XII SMK sudah melaksanakan ujian ini pada hari senin yang baru lalu.

Ujian Nasional atau lebih populer disebut dengan UN adalah tes yang dilakukan untuk mengetahui pencapaian siswa selama menempuh pelajaran di sekolah menengah.

Ujian Nasional tahun 2017 ini terbilang unik, dimana siswa yang mengikuti ujian dibagi menjadi dua, ada siswa dengan fasilitas sekolah yang memadai, akan melaksanakan ujian dengan sistem CBT alias Computer Basic Test atau test berbasis komputer, dimana ujiannya langsung di depan komputer yang online dengan server di Kementerian Pendidikan Nasional. Sehingga dengan ujian ini akan langsung diketahui anak yang lulus atau tidaknya dia menempuh ujian tersebut.

Sistem yang lain adalah sistem klasik, dimana siswa menempuh ujian dengan menggunakan lembar jawaban komputer (LJK) dan menggunakan Pensil 2B.

Kedua sistem ini sebetulnya tidak jauh berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hanya saja dengan sistem CBT perilaku curang yang dilakukan siswa dapat diminimalisir atau malah nol.

Permasalahan yang ditakutkan ketika CBT ini dilaksanakan adalah masalah internet. Pada beberapa hari yang lalu ketika dilaksanakan try out dengan menggunakan CBT, beberapa komputer tidak bisa mengakses soal yang dikeluarkan oleh server kemendiknas. Itu saja sekolah yang melakukan CBT hanya beberapa sekolah saja, apalagi besok hampir semua SMA dan Madrasah Aliyah, melaksanakan ujian CBT.

Mudah-mudahan ujian nasional beberapa hari yang akan datang dapat dilaksanakan dengan baik serta tidak bermasalah dengan jaringan komputer milik kemendiknas…

Bravo kemendinkas

Selamat menempuh Ujian Nasional Bagi siswa kelas XII…

 

 

 

Trip To Bali

Keinginan untuk ke Bali memang sudah ada sebelum masuknya tahun 2015 ini, hanya saja karena beberapa kesibukan, niat jalan-jalan pun belum bisa terlaksana.

Kesempatan itu muncul ketika salah satu kakak yang mengajar di suatu sekolah menawarkan tiket pergi ke Bali, dia berdalih ada dua tiket yang belum ada yang mengambil, sehingga menawarkan ke Istri, tidak langsung ke saya. Ya begitulah, kalau sesuatu ditawarkan kepada si istri, para suami ngga kuasa untuk menolak. Awalnya memang menolak dengan berbagai alasan, namun karena ya begitulah, kalau perempuan sudah berkata, khalifah Umar Bin Khattab-pun, tak kuasa menolaknya, padahal khalifah Umar menurut sebuah kisah adalah satu-satunya manusia yang ditakuti oleh setan. Dengan terpaksa akhirnya mengiyakan, meski punya satu syarat, yang syaratnya tidak mungkin dia mengiyakan. “Oke kita ke Bali tapi bawa mobil sendiri”, kataku, eh istriku malah jawab : “Ya udah kalau gitu, pakai mobil sendiri aja, biar santai dan puas”. Mandapat jawaban tersebut, Gerahlah diriku, karena langsung terbayang bagaimana capeknya bawa mobil sendirian dengan jarak sedemikian jauh. Dulu saja pergi ke Besuki Situbondo, memerlukan waktu 25 jam, dengan dibarengi oleh dua supir. Nah ini ke Bali, nyebrang pula, berangkat jam berapa, sampai kapan?

Karena tidak ingin mengecewakan, kuanggukan kepala dengan lemas, “hore, akhirnya ke Bali juga  ” kata istriku sambil meluk si kecil yang sedang tidur dipangkuannya.

Mau tidak mau, browsinglah di hp Galaxy Grand Prime-ku, mulai dari harga tiket, harga penginapan, harga tiket penyeberangan, sampai ketemulah, satu artikel tentang perjalanan ke Bali. Dimana salah satu perlengkapan yang harus di bawa adalah: kartu Id, SIM, KK dan STNK. Buat apa sih yang begituan dibawa? Ternyata setelah kejadian Bom Bali 1 tahun 2002, semua orang yang akan masuk ke Pulau Bali, harus diperiksa dengan ketat di Pelabuhan Gilimanuk, oleh pihak kepolisian dan pihak Disdukcapil Kabupaten Jembrana.

Setelah browsing, langsung teringat SIM, kalau tidak salah  SIM A maupun SIM C sudah berakhir bulan Nopember 2015 bertepatan dengan hari kelahiranku. Hingga kemudian bergumam : “yah, kenapa sih habisnya kartu begitu harus bertepatan dengan hari kelahiran? Padahal meskipun ketika ulang tidak ada yang memberi hadiah, tapi senang aja ada yang mengucapkan Selamat Ulang Tahun, atau ada juga yang mengatakan selamat kurang tahun.”
Bersambung

TN Baluran

Ketika dalam perjalanan menuju Bali, sampailah kami sekeluarga di sebuah SPBU di daerah Situbondo Jawa Timur.

Tentu maksudnya adalah untuk mengisi bensin yang sudah hampir kosong setelah melewati perjalanan dari Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo hingga Situbondo. Perjalanan itu adalah perjalanan hari ketiga setelah dua kali berhenti untuk menginap dalam perjalanan dari Bekasi menuju Bali.

Kami berlima, istri, dua anak dan adik bontot istri yang mau ikut, entah sugesti apa hingga si bontot mau ikut dalam perjalanan sejauh itu, perjalanan yang sampai Situbondo sudah lebih dari 900 Km, padahal perjalanan dekat saja dia selalu mabuk perjalanan.

Mobilpun ikut mengantri, namun pas sampai di dekat mesin pengisian, pegawai SPBU langsung bilang :

“Wah maaf pak, PLNnya mati mendadak”

“Waduh gimana dong? Indikator bensin saya udah hampir E nih”?

“Tenang aja pak, di depan masih ada dua pom bensin lagi sebelum masuk hutan”. Kata pegawai SPBU.

Mendengar kata “hutan” si Kakak langsung bangun, rupanya tadi tidak tidur dengan pulas, dan diapun berbisik :

“Ayah, tutupin kacanya yah, kita mau masuk hutan”.

Kami semua tersenyum, mengetahui si Kakak begitu sangat ketakutan mendengar kata hutan. Padahal ketika mudik ke rumah neneknya di Majalengka, sebelum sampai di rumah neneknyapun masuk hutan dulu.

IMG-20151222-00761

Akhirnya mobilpun meninggalkan SPBU tersebut, dan berjalan beberapa kilometer. Dari SPBU pertama jalanan masih seperti sebelumnya, jalan khas Pantura Jawa, yang jalanan landai, sedikit berkelok, berada dipinggir laut, yang ombaknya kecil, air laut terlihat dangkal, air beriak tanda tak dalam, kata peribahasa.

Sampailah di SPBU pertama, dan langsung masuk di  tempat pengisian bahan bakar, isi full, kata Istri. Ternyata diisi cuma Rp. 150.000, itupun jarumnya sudah menunjuk indikator F alias full.

Perjalanan kami lanjutkan, entah apa yang ada di benak mereka, saya hanya memikirkan bagaimana kalau terjadi hal yang tidak diinginkan di dalam hutan itu yang katanya seram, tidak ada penghuninya, jalanan berkelok naik turun, maklum mobil tua, cc kecil dan belinya pun dicicil empat tahun.

Sesampainya di pintu gerbang benar saja, langsung dihadapkan dengan macet, di jalan yang belok patah ke kanan nanjak pula, mobil berjalan lambat, ternyata diujung tanjakan ada mobil tronton yang sedang berhenti kelihatannya sedang mogok, setelah melewatinya, jalanpun sedikit lancar. “Kalau begini harus mendahului yang lain” gumamku. Beberapa mobil berhasil didahului. Jalannya memang mulus, hingga bisa memacu kendaraan sedikit kencang.

Penasaran masih menggelayuti pikiran, katanya hutan Taman Nasional Baluran ini seram, kok biasa aja, apa seramnya? Malah kalau dihitung masih seram perjalanan dari Cikijing Majalengka ke Panjalu Ciamis lewat gunung Bitung Maniis, jalanan kecil, masih banyak lubang, pohon pinus menjulang puluhan meter. Ini katanya hutan, pohonan kecil, rumput savana menghampar sejauh mata memandang. Menurut cerita hutan ini adalah hutan miniatur Afrika. Ditemukan oleh orang Belanda, habitat satwanya hampir menyerupai habitat satwa di Afrika. Mobil terus melaju hingga sampailah di satu tempat yang terdapat banyak mobil berhenti, ternyata mobil berhenti di tempat sekumpulan monyet, dan mereka melempar makanan ke kumpulan monyet tersebut. Ketika mau berhenti justru si kecil menjerit, kenapa Bunda? Dia ketakutan ya? Tanyaku. Iya Yah, kata Istriku. Akhirnya pejalanan dilanjutkan tanpa bisa bercengkrama dengan penghuni Taman Nasional Baluran Situbondo.

Tepat jam 17.29 WIB, kamipun tiba di Pelabuhan Ketapang Banyuwangi, tempat yang akan menyebrangkan kami menuju pulau dewata Bali….